Kamis, 30 Januari 2014

Jatuh Cinta pada Pesona Batik Madura

Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Lahir sebagai generasi keempat dari keluarga pebatik Madura, Siti Maimona, pemilik Pesona Batik Madura, mengaku awalnya tidak suka dengan . warisan budaya leluhur itu.

"Keluarga besar saya memulai usaha batik Madura sejak 19S0. Namun anehnya, sejak kecil saya tidak suka dengan batik," katanya mengawali pembicaraan dengan Jumal Nasional di Jakarta, (8/7). Seperti kebanyakan anak seusianya, perempuan yang kerap disapa Mai ini, menikmati masa kecilnya di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada usia 15 tahun. Mai menghabiskan masa remajanya di Bali. "Tahun 1993 saya melihat batik Pekalongan yang sangat bagus di Bali. Saat itu, nurani saya tersentu. Lahir dari keluarga pebatik, malah nggak suka batik,"katanya mengenang.


Pada 1995, usai merampungkan studinya di Bali, Mai kembali ke Madura. Saat itu, dia mencoba melukis kembali motif batik Madura koleksi lawas keluarganya. "Awalnya saya nunjukin batik buatan saya pada keluarga dan teman-teman. Temyata mereka suka, dan meminta saya untuk menghidupkan kembali usaha keluarga yang sempat vakum pada generasi ketiga," ungkapnya.

Setahun kemudian, dengan modal RpS juta. Mai memberanikan diri untuk membuka kembali usaha batik milik keluarganya dengan mengupah enam orang perajin. Misi Mai kala itu hanya ingin menghidupkan kembali batik Madura yang sudah mulai terlupakan, dengan cara mere-produksi motif batik lawas. "Tapi tentu saja, saya tidak mengabaikan misi ekonomi Saya berharap usaha ini bisa menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat Madura," katanya.

Proses pembuatan batik Madura yang terbilang lama, rumit, dan membutuhkan dana yang cukup besar, sempat menjadi kendala bagi Mai dalam membesarkan usahanya. "Batik Madura itu terkenal dengan coraknya yang unik dan cerah. Untuk menghasilkancorak itu, membutuhkan proses yang cukup lama, yaitu sekitar enam bulan hingga setahun," paparnya.

Dengan keterbatasan dana, Mai tidak berhenti membatik. Dia malah semakin gencar memperkenalkan batik Madura di dalam maupun luar negeri, melalui berbagai pameran. Pada 2004, Mai memperkenalkan batik Madura ke beberapa negara, seperti Australia, Jepang, Italia, Prancis, dan Oman. "Saya juga pernah melakukan pameran di Xian Si, China, dengan membawa 75 orang perajin batik yang saya punya," katanya.

Pada 2005, Mai beruntung menjadi mitra binaan perusahaan semen pelat merah, PT Semen Gresik Tbk. Dia mengaku, mendapatkan dana pengembangan usaha sebanyak dua kali dari Semen Gresik, masing-masing sebesar RplS juta dan Rp20 juta. Menjadi pengusaha batik, dia dituntut untuk jeli melihat kebutuhan dan tren pasar.

"Jujur saja, awalnya saya tidak memproduksi batik lembaran dengan harga di bawah RpSOO ribu. Namun, karena saat ini batik sudah menjadi tren fashion, dan karena besarnya permintaan pasar, akhirnya saya produksi batik dengan harga Rp60 ribu hingga Rp200 ribu," ungkapnya.

Rumitnya proses pembuatan batik Madura berpengaruh pada harga jual batik lembaran ang diproduksinya. Maka tidak heran, untuk selembar kain batik Madura, Mai mem-banderol harga hingga Rp7,5 juta. Seni batik Madura merupakan spesialisasi batik gen-tongan, di mana batik dihasilkan dengan mencelupkan kain bank ke dalam gen-tong yang berumur ratusan tahun. "Teknik ini akan menghasilkan batik dengan warna yang matang dan cerah, seperti merah, oranye, dan biru muda," ucapnya.

Batik gentongan menurut Mai, dihasilkan melalui proses yang rumit, dengan melewati 20 hingga 30 kali tahapan. Sebelum kain direngreng atau

diberi motif, kain terlebih dahulu dtlecak atau direndam dengan menggunakan biji-bijian nyamplong dicampur air abu, sehingga minyak dan bahari pengembang bisa terlepas.

Kemudian kain diberi motif, dengan menggunakan malam (lilin). Proses pewarnaan menurut Mai, dimulai dengan pemberian warna dasar, yang diikuti dengan warna-warna lain mengikuti motif yang dikehendaki. "Proses pewarnaan ini merupakan proses paling penting karena batik Madura terkenal dengan kekayaan warnanya."

Setelah itu, batik direndam dalam gentong berumur ratusan tahun, untuk selanjutnya memasuki tahapan lorotan di mana malam diturunkan dari kain dengan menggunakan air mendidih). "Setelah didapatkan warna yang -diinginkan, kain dijemur di bawah sinar matahari," katanya.

Kini, setelah 15 tahun menekuni usaha batik Madura, Mai mampu menggemukkan pundi-pundinya dengan omzet RplSO juta per bulan, sertamempekerjakan 180 perajin batik lokal. Masalah permodalan pun sedikit demi sedikit terpecahkan, melalui kepercayaan perbankan terhadap usahanya. "Tahun lalu BNI mempercayakan pinjaman dana Rp500 juta untuk pengembangan usaha saya," katanya.

Kredibilitas Mai melalui Pesona Batik Madura telah mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak. Di antaranya Seal of Excellence for handicraft Product in Southeast Asia dari Unesco pada 2004, penghargaan Smesco Festival dari Kementerian Koperasi dan UKM pada 2005, dan penghargaan 100 Wanita Terinspiratif pada 2009.

Tidak puas dengan pencapaian itu, di masa depan. Mai menargetkan untuk memperluas daerah pemasaran baliknya, yang saat ini hanya terbatas di Jakarta, Bali, dan Yogyakarta. "Saya ingin masuk ke pasar Makassar. Potensi pasar di sana bagus. Tapi saya harus riset terlebih dahulu, siapa tahu di daerah lain ada pasar lain yang lebih menjanjikan" katanya bernada optimistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar